Powered By Blogger

Sabtu, 11 Juni 2011

RITUAL DAN ALASANNYA


Om swsatyastu:
Ratu ini wenten konsep calon buku tityang yang akan datang tentang “TAWUR LABUH GENTUH DAN MAKNA SAINS”, niki wenten alasan-alasan tentang pelaksanaan caru dan berbagai alasannya. Tyang kirim sebagian karena yang di atasnya dan yang di bawahnya kari tityang revisi. Jika ada yang menggugat pelaksanaan ritual caru niki anggen senjata, kalau ada yang menggugat Agni Hotra tyang juga kirimi Ratu. Semua ritual itu baik tergantung tujuannya. 

RITUAL DAN ALASANNYA

2.3.1. Makna ritual
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa untuk memperoleh kondisi pikiran dengan frekuensi rendah, paling tidak pada frekuensi alpha sangatlah sulit untuk dicapai. Hal ini disebabkan oleh kondisi kehidupan manusia dewasa ini lebih tertarik oleh gaya kehidupan duniawi daripada kehidupan spiritual. Untuk mencapai kondisi pikiran yang tenang dan hening maka seseorang mutlak harus melakukan kontempalsi melalui aktivitas spiritual, yoga atau medetasi. Inilah satu-satunya cara atau media, tiada yang lainnya.  Kontempalsi hanya akan dicapai manakala sistem nafas rohani telah menyatu dengan sitem pikiran rohani dan hal ini tidak mudah untuk dicapai. Kegiatan rohani semacam ini belum dapat menajdi media bagi semua lapisan umat, karena cara ini dianggap sebagai suatu cara yang penuh dengan kesulitan. Untuk memperoleh pikiran kontempaltik, maka upacara ritual seperti; caru Tawur Gentuh dan sebagainya merupakan sarana awal yang sangat membantu dalam pendakian spiritual bagi umat Hindu pada umumnya dan (khususnya umat Hindu di Bali dan asal Bali).
Di sinilah secara fungsional  upacara ritual caru Labuh Gentuh, memiliki andil dalam mensuperposisi gelombang-gelombang micro cosmos dan macro cosmos. Hal ini dapat kita baca pada uraian fungsi dari Caru Labuh Gentuh pada lontar Kramaning Caru, sebagai berikut :

Iki kramaning paundag-undaganing caru, anut pasangnya, manistya, madyottama, lwirnya, sarwā amanca warnā, itik bulu sikep, asu bhang bungkem, samāngawe ēēdan, mwang dandanan, kading ngerēp, manca klud, nga, nista caru ika.
Yan mawēwēh kambing, angśa, itik blang kalung, maňca sanak, nga, malih mawēwēh bawi butwan, balik sumpah caru ikā, madya īka. Malih dening banteng, tawur gěntuh, nga (Sulibra, 1995 : 23)

Bwanā, trus tkeng soring ptalā, maring luwūring ākaşā, sama tinawuran, pinūjjā pinarikramā pinanācasyan den sang parārsi makabehan, marmmaning landuh ikang bhumi, mwang pamarggine samānūt, tatā parikramanya, mwang pūjanya, āpan makapakŗtti  nikang bhumi, kŗttha, tretha, nga, yang tan mangkanā, anrus maring dwapara, mwang kali, hrug ikang jagat, arohara, pŗkarāngebĕk, manūsā arēp dadi maling, angrurusuh, mwang gring tan pgat, makweh wong mati, āpan setaning alas, jurang, kali, smō, padā ya dadi manūsā, tlas sahananing tngěte, kang mandadi manūsā, kramananing kabinā-binā, paēmbakanya, paripolahnya, atinya samā lawan sato, kramanya patilanñcubin, muñi patijlamut, anake den lañcubin, inane den sakinin, kang pada tan wnang laki ninden lakinin, ne tan wěnang a-/-met.
Denāmetin, mangkanā tmahanya ikang janmā ring bhūmmi, padā kneng sangharā, kneng roga dening pangwişesaning bhūmmi kali, kurang pŗkŗti, kurang pangastiti, paśih aśih ne kawidhi, kabhūtā kālā, kabhummi lěwihne manūşā, kapitrā, ika dahating mirogga, karananing mtu bheda, mtu candalā ring jagat ( Salibra, 1995 : 24).

Melalui lontar Kramaning Caru ini kita memperoleh gambaran konsep tentang mengapa di dunia ini bisa tercipta ketidak-harmonisan. Menurut lontar tersebut ketidakharmonisan di dunia ini terjadi, karena umat manusia telah melupakan kewajiban sucinya memelihara bumi ini dengan upacara atau yajna, sehingga bumi beserta isinya ini merosot kualitasnya. Pernyataan ini dibenarkan oleh kitab suci Bhagavadgita, sebagai mana dapat kita baca di bawah ini :

Yajna sishtāsinah santomuchyante sarva kilbishaih
Bhunjate te ty agham pāpā ye pachanty ātma kāranāt
                                             (Bhagavadgita, III : 13)

‘Yang baik adalah makan setelah makanan itu dipersembahkan (yajna) terlebih dahulu, sebab melaksanakan yang demikian itu akan menyebabkan terlepas dari dosa. Tetapi jika menyediakan makanan yang lezat hanya untuk diri sendiri, maka hal itu sama dengan makan dosa’.

Annād bhavanti bhūtāni parjanyād annasambhavah
Yajnād bhavati parjanyo yajnah karma samudbhavah
                                                            (Bhagavadgita III : 14)

‘Karena makanan, mahluk dapat hidup,
karena hujan, makanan dapat tumbuh,
karena persembahan (yajna), hujan turun
dan persembahan (yajna) lahir, karena kerja. 


Jika kita teliti dengan saksama maka jelas sekali ada pengertian yang sama antara kata; yajna dan caru yang sama-sama memiliki arti sebagai “persembahan”. Persembahan mutlak dilakukan, sebab tanpa persembahan cakra rta atau “hukum semesta” menjadi meresot. Kemerosotan kualitas dunia akhir-akhir ini banyak ditentukan oleh kualitas yajna atau persembahan (perbuatan). Dunia yang berawal dari zaman Kerta, turun ke Treta, terus ke Dwapara dan sekarang ini zaman Kali. Pada zaman Kali ini banyak manusia bertingkah laku yang mirip dengan tingkah laku binatang. Untuk mengembalikan sifat-sifat yang agung dari manusia dibutuhkan “terapi” psikoritual, nah di sinilah makna fungsional caru Labuh Gentuh itu menjadi sain.
Upacara Bali (Wali) atau Labuh Gentuh dan upacara caru-caru lainnya dalam kedudukannya sebagai sain dapat dideskripsikan sebagai berikut; upacara Bali atau Wali, adalah upacara korban suci yang ditujukan terhadap para Bhuta mahluk yang ada di bawah derajat manusia. Tujuan upacara bali atau wali sebagai sarana penetralisir anasir-anasir energi negatif (-) dari vibrasi yang dipancarkan oleh para mahluk, roh atau alam di bawah manusia (bhuta). Untuk menetralisir kekuatan negatif (-) itu, maka pada upacara wali tersebut kita mengundang para dewa agar melimpahkan vibrasi energi positif-Nya (+) minimal sama atau kalau perlu lebib banyak dari vibrasi energi negatif (-) yang dimiliki oleh para roh dan mahluk yang lebih rendah (bhuta). Jika energi positif (+) yang dihasilkan oleh vibrasi upacara itu hanya sama dengan energi negatif (-) dari para bhuta berarti setelah upacara selesai, maka manusia akan menglamai kondisi nol (0) atau kekuatan-kekuatan para bhuta dan kekuatan para dewa sama, sehingga kekuatan para bhuta tak berpengaruh pada manusia. Namun jika energi upacara tersebut dapat mendatangkan vibrasi energi positif (+) para dewa sebanyak mungkin, maka setelah selesai pelaksanaan upacara itu, manusia akan memiliki kondisi yang lebih banyak dipengaruhi oleh vibrasi energi positif (+) dari para dewa. Sehingga setelah selesai melaksanakan upacara, seseorang dikuasai oleh sifat-sifat dewa; cemerlang, suci, arif bijaksa.  Sloka-sloka yang menguraikan tentang upacara wali tersebut dapat kita baca dalam berbagai sloka Manawa Dharmasastra sebagai berikut :

Ewam nirwam panam kŗtwā pindām stāmsta danantaram
gām wipramajamagnim wā prāçyedapsu wāksipet.
                                                               (MDhs. III:60)

‘Setelah menghaturkan kue (makanan) sedemikian rupa dan setelah bersembahyang hendaknya ia memberikan kue (prasadam; makanan suci itu) kepada sapi, Brahmana, kambing atau api suci atau hendaknya ia membuang ke dalam air (untuk para ikan dalam air)’.
                                                  
         
Pinda nirwāpanam kecit purastādewa kurwate
Wayobhih khādayantyanye praksipantyanale’psuwā.
(MDhs. III:261)

‘Beberapa (orang) melakukan persembahan kueh ini setelah makan, beberapa (orang) lagi membiarkannya dimakan oleh burung-burung atau dilemparkannya ke dalam api atau ke dalam air.

Dari dua sloka Manawa Dharmasastra di atas dapat diketahui bahwa hakekat pelaksanaan; Wali, Bali, Caru atau Tawur dan entah apalagi namanya,  adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam upacara Caru atau Tawur itu manusia mempunyai kewajiban untuk memberi makan kepada mahluk yang lebih rendah yakni para ikan yang ada dalam air termasuk mahluk-mahluk jasad renik yang ada dalam air. Sisa-sisa upakara Caru atau Tawur yang sekiranya akan mencemari ekosistem dimasukkan ke dalam api dan abunya menjadi humus bagi jasad renik yang ada dalam tanah. 
Manusia memiliki inspirasi dan dorongan naluriah untuk melakukan upacara Caru atau korban suci. Dorongan naluriah dan rasa ingin berbuat yang sebaik mungkin dan semaksimal mungkin di hadapan Tuhan, juga menggiring manusia untuk melaksanakan korban (caru, yajna, taur). Disadari sepenuhnya oleh umat Hindu bahwa keberadaan umat manusia beserta alam semesta ini dalah hasil dari pengorbanan Tuhan, sehingga tindakan pengorbanan Tuhan itu patut diteladani oleh manusia. Dengan berkorban itulah orang akan disucikan, sebagaimana sloka suci Bhagavadgita di bawah ini mengatakan:

Yajna dāna tapah karma na tyājyam kāryam eva tat
yajno dānam tapas chai’va pāvanāni manīshinām
                                       (Bhagavadgita XVIII : 5)

‘Mengadakan upacara persembahan (panca yajna),
sedekah dan tapa brata jangan diabaikan melainkan
harus dilakukan sebab upacara, sedekah serta tapa brata
adalah cara pensuci bagi orang arif bijaksana


Melalui sloka-sloka di atas maka dapat dipahami bahwa upacara pengorbanan (caru, wali, taur dsb) dalam agama Hindu memiliki makna multi dimensi; spiritual, intelektual, moral, sosial, dogma dan logos yang kesemuanya bercampur menjadi satu dalam satu rajutan upacara. Melihat upacara hanya dari salah satu segi adalah cara pandang yang keliru.  

2.3.2. Makna sain – psikosibernetik
Pikiranlah yang menjadi kunci dari kehidupan manusia, hal ini juga diungkapkan oleh seorang peneliti pada Andhra Research University of India, yaitu Dr. Joseph Murphy D.R.S., Ph.D., D.D., LL.D., yang menyatakan:

Hukum kehidupan adalah hukum kepercayaan. Kepercayaan adalah buah pikiran dalam pikiran Anda. Jangan percaya kepada hal-hal yang menyakitkan atau mencedrai Anda. Percayalah kepada kekuatan pikiran bawah sadar Anda untuk menyembuhkan, memberikan semangat hidup, menguatkan, dan mensejahterakan Anda. Sesuai dengan kepercayaan Anda semua terjadi atas diri Anda (Murphy, 2002:14).

Berkaitan dengan upacara Labuh Gentuh, maka semua sarana yang digunakan memberikan efek gelombang atau resonansi pada pikiran manusia. Berdasarkan psikoanalisis atau juga psikosibernetik, pikiran manusia harus selalu diberikan stimulan-stimulan yang mengarah pada hal-hal yang positif. Untuk memberikan stimulan-stimulan pada pikiran bawah sadar, maka pesan-pesan telepati, kata-kata sugestif psikologis paling mudah menuntun pikiran bawah sadar untuk mencapai eksistensi kedewataan dari manusia. Selain itu benda-benada bertuah, benda-benda keramat paling mudah mempengaruhi psikologi seseorang dalam membangunkan pikiran bawah sadar. Hal ini memberi petunjuk bahwa memang benar di dalam diri manusia itu ada sesuatu yang gaib dan hanya muncul ketika diberikan stimulus yang gaib juga.
Menyadari bahwa pikiran manusia secara psikologis memegang peranan yang sangat penting dalam menolak atau menerima segala sesuatu, maka secara psikologis pula manusia akan tak berdaya untuk menerima pengaruh telepatik dari upacara. Upacara ritual keagamaan dengan menggunakan berbagai sarana dapat menggetarkan hati, hal itu karena adanya rambatan energi gelombang spiritual dari bahan-bahan upacara itu. Karena kuatnya pengaruh ritual itu pada otak bawah sadar manusia, maka beberapa orang ahli tantrik mencoba memanipulasi kekuatan ritual itu untuk tujuan-tujuan lain, seperti untuk memperoleh kesaktian dan kekuatan-kekuatan supra natural.
Beberapa penelitian ilmiah yang diabadikan dalam bentuk kaset Video, film dan sebagainya telah membuktikan bahwa berbagai upacara ritual mampu membangkitkan tenaga-tenaga supra natural. Hal ini membuktikan bahwa upacara memiliki pengaruh psikis pada diri manusia, jadi upacara itu bukan sesuatu yang sia-sia belaka dan bukan dogmatis belaka.      


2. 4. Berbagai Bentuk atau Wujud Yajna
Sebagai mana sudah banyak disinggung pada halaman depan bahwa upacara atau ritual adalah bentuk luar dari agama.  Bentuk luar tidaklah kekal, tetapi akan mengikuti hukum-hukum evolusi atau perubahan. Kitab suci Bhagavadgita memberikan petunjuk bahwa ada banyak jenis upacara yang dipengaruhi oleh triguna, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Aphalākānkshibhir yajno
vidhidrishto ya ijyate
yashtavyam eve’ti manah
samādhāya sa sāttivikah
                                       (Bhagavadgita XVII : 11)


‘Upacara menurut petunjuk kitab-kitab suci
dilakukan orang tanpa mengharapkan pahala
dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini
sebagai tugas kewajiban, adalah sattvika

abhisamdhāya tu phalam
dambhārtham api chai’va yat
ijyate bharatasreshtha
tam yajnam viddhi rājasam
(Bhagavadgita XVII : 12)

‘tetapi yang dipersembahkan dengan mengharapkan pahala dan semata-mata untuk keperluan kemegahan belaka ketahuilah, wahai Putra terbaik keturunan Bharata itu adalah merupakan upacara-upacara rajas’,


vidhīhinam asrishtānnam
mantrahīnam adakshinam
sraddhāvirshitam yajnam
tāmasam parichakshate
                                       ( Bhagavadgita XVII : 13)

upacara yang tidak sesuai dengan peraturan
di mana sarana upacaranya tidak dihaturkan
tidak menggunakan ucapan mantra dan tanpa
daksina (pemberian kepada pendeta) dan
tanpa kepercayaan dinamakan tamasa’.


Deva dvija guru prājna
Pūjanam saucham ārjavam
Brahmacharyam ahimsā cha
Sārīram tapa uchyate
                                       (Bhagavadgita XVII : 14)


‘berbakti kepada dewata, pendeta, guru
dan kepada mereka yang arif bijaksana,
kepada orang suci, kepada orang teguh pada
kebenaran, kepada orang yang mengejar
pengetahuan ketuhanan, kepada orang yang tidak
melakukan kekerasan, adalah jenis pengurbanan
atau pengendalian diri (tapa) dengan jasmani’.


Anudvegakaram vākyam
Satyam priyāhitam cha yat
Svādhyāyābhyasanam chai’va
Vānmayanti tapa uchyate
                                       (Bhagavadgita XVII : 15)

‘berbicara tanpa menyinggung atau melukai hati
 dapat dipercaya, lemah lembut dan berguna
 dan teratur mempelajari kitab-kitab suci
  ini disebut bertapa dengan ucapan


 manahprasādah saumyatvam
 maunam ātmavinigrahah
 bhāvasamsuddhir ity etat
 tapo mānasam uchyate
                                       (Bhagavadgita XVII : 16)
‘suci murni dalam pikiran
 sopan santun, pendiam
 menguasai diri dan lurus hati
 disebut bertapa dengan pikiran.


Melalui sloka-sloka di atas, maka dapat diketahui bahwa ada banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh oleh berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan karakter masing-masing. Semua jenis upacara, pengendalian diri dan sebagainya memiliki kualitas yang berbeda, melakukan upacara tanpa dimengerti maknanya adalah upacara dengan kualitas tamas atau kualitas paling rendah (Bhagavadgita, XVII : 13 dan Manawa Dharmasastra III : 97) . Untuk itu sedapat mungkin umat Hindu dalam melaksanakan upacara harus dimengerti artinya. Upacara yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk kitab suci dan pengertian yang dalam merupakan upacara dengan kualitas satwa atau kualitas tertinggi (Bhagavadgita, XVII : 11).

2.5. Kreasi dan Penafsiran Upakara Yajna
Ada anggapan bahwa upakara atau sarana upacara yang syah berdasarkan ajaran Veda adalah upakara-upakara yang digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena Veda memberikan ke leluasan pada kemampuan umatnya. Penafsiran yang berlebihan seperti itu membawa dampak yang tidak simpati dari pihak lain yang tidak mengerti, atau yang tidak memahami upakara dalam perspektif Hindu (Bali). Keleluasan yang diimplementasikan dalam konsep desa, kala dan patra yang diberikan oleh ajaran Hindu harus tetap menjadi landasan dalam berupacara, sebagai mana kitab suci Bhagavadgita mengatakan : 

Ye yathā mām prapadyante tāms tathai’va bhajāmy aham Mama vartma’nuvartante manushyāh pārtha sarvasah
                                                   (Bhagavadgita IV : 11)

‘jalan mana pun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima  dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta

Untuk menyambut masa depan yang lebih cerah, maka para tokoh Hindu harus melakukan studi khusus dan serius serta melakukan reinterpretasi pelaksanaan ritual Hindu. Berdasrkan berbagai literatur Vedik sangat dibenarkan untuk melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Veda, hal inilah yang memberi ciri kelenturan Veda. Veda dapat ditafsirkan dalam berbagai konteks zaman.

2.6. Dasar Pelaksanaan Upacara Panca yajna
Betapapun sederhananya upacara persembahan atau yajna yang dilakukan oleh umat Hindu, tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar. Umat Hindu melakukan upacara persembahan berdasarkan petunjuk-petunjuk kitab suci yang harus diyakini. Upacara persembahan yang disebut dengan yajna itu merupkan suatu kewajiban suci bagi umat Hindu, terutama sekali bagi yang telah berumah tangga atau telah berkeluarga. Hal ini dapat dibaca pada sloka-sloka kitab suci di bawah ini.   

Waiwahike’gnau kurwita grhyam karma yathawidhi
paňca yajňa widhānam ca paktim cānwāhīkīm gŗhi

                                                                        (MDhs. III : 67)
‘dengan menyalakan api suci dalam upacara perkawinan
 seorang kepala rumah tangga akan melakukan sesuai dengan hukum-hukum tentang upacara keluarga dan melaksanakan  upacara panca yajna, dengan demikian ia termasuk memasak  nasinya sendiri (sesuai dengan aturan suci)’

Paňca sūna gŗhasthasya culli pesanyu paskarah
Kandanī codakumbhaçca badhyate yastu wāhayan
                                                               (MDhs. III : 68)

‘Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu; (1) tempat memasak, (2) batu pengasah, (3) sapu, (4) lesung dan alunya, (5) tempayan tempat air dengan pemakaian alat-alat itu ia diikat oleh belenggu dosa.

Tasām kramena sarwāsām niskŗtyastham maharsibhih,
Paňca klŗpta mahāyajñah pratyaham grhamedhinām
                                                               (MDhs. III : 69)

‘Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan panca yajna’.


Adhyāpanam brahma yajňah pitŗ yajňāstu tarpanam
Homo daiwo balibhaurto nŗyajňo’tithi pūjanam
                                                               (MDhs. III:70)


‘belajar adalah kurban (persembahan) untuk para Brahmana (guru bijak),  upacara menghaturkan tarpana dan air adalah kurban untuk para leluhur, upacara dengan menghaturkan minyak susu adalah kurban untuk para dewa,  upacara dengan menghaturkan bali adalah kurban untuk para bhuta, dan  penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah kurban untuk manusia’


Paňcaitānyo mahāyajňān na hāpayati çaktitah
Sa grhe’pi wasannityam sūnādoşairna lipyate
(MDhs. III : 71)

‘Ia yang tidak mengabaikan kurban besar yang lima ini (panca yajna) selama ia mampu untuk melakukannya, ia tidak dinodai oleh dosa yang dilakukannya pada kelima tempat penyembelihan tadi walaupun ia selalu hidup dan bekerja sebagai mana seorang kepala rumah tangga’


2.7. Upacara Harus Diketahui Maknanya
Sangatlah bijak jika seseorang melakukan sesuatu terlebih lagi dalam hal melakukan upacara suci, sebab jika melakukannya tidak dimengerti maka apa yang dilakukan kering makna . Upacara yang tidak diketahui maknanya adalah sia-sia ;

Naçyanti hawwyah kawyāni narānāmawijānatām
Bhasmī bhūtesu wipresu mohād dattāni dātŗbhih.
                                                   (MDhs . III. 97)

‘Persembahan yang dihaturkan kepada para Dewa dan leluhur yang  dilakukan oleh orang yang tidak tahu peraturannya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohannya kepada Brahmana, maka persembahannya
 itu tak ada bedanya dengan abu’.

Tuhan mengetahui apapun yang dilakukan atau bahkan apa yang akan dilakukan oleh umat manusia, sehingga apapun keadaan dan kondisi seseorang dalam melakukan upacara persembaan tidak dapat disalahkan. Tuhan mengerti walaupun kita tidak mengerti dengan apa yang kita persembahkan. Tuhan adalah persembahan itu sendiri, Tuhan adalah mantram itu sendiri. Tuhan ada di dalam unsur-unsur persembahan, Tuhan juga ada di dalam niat persembahan itu. Jadi apapun bentuk persembahan manusia, Tuhan dapat menerima. Walaupun demikian persembahan yang dimengerti maknanya merupakan yang terbaik.  

2.8.      Makna Himsa Karma dan Pembunuhan Hewan Dalam Upacara

Dalam pelaksanaan caru, sarana yang digunakan termasuk hewan. Dasar penggunaan hewan sebagai ‘kurban yajna’ dapat kita temukan dalam kitab suci Manawa Dharmasastra :

Yajňāya jadhir māmsasyetyesa daiwo widhih smritah
ato’nyathā prawrittistu rāksaso widhirucyate
                                                               (MDhs. V : 31)

Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban, hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh para dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk raksasa’

yajňārtham paçawah sristāh swamewa sayambhawā
yajñasya bhūtyai sarwasya tasmādyajñe wadho’wadhah
                                                                        (MDhs. V : 39)

‘Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban, upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk tujuan upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja

Osadhyah paçawo wriksāstir Yañcah paksinastathā
Yajñatham nidhanam prāptāh Prāpnu wantyutsritīh punah
                                                               (MDhs. V : 40)

‘Tumbuh-tumbuhan, semak belukar, pohon-pohonan, ternak, burung-burung, yang dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang’

Madhuparkam ca yajñe ca pitri daiwata karmani
atraiwa paçawo himsya tretya brawīnmanuh
                                                               ( MDhs. V : 41)

‘Dengan menyuguhkan campuran madu kepada tamu, pada upacara kurban dan pada upacara menghormati leluhur, tetapi hanya pada kesempatan- ketempatan begini seekor binatang boleh disembelih, peraturan ini
 dinyatakan oleh Manu’.

Eşwartheşu paçūnhimsan weda tattwārthawid dwijah
ātmānam ca paūm caiwa gamayatyuttamām gatim
                                                                        (MDhs. V : 42)

‘Seorang Dwijati yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk ke keadaan yang sangat membahagikan’

Yā wedawihitā himsā  niyatā smimçcarācare
ahimsāmewa tām widyād wedāddharmo hi nirbabhau
                                    (MDhs. V : 44)

‘Ketahuilah bahwa menyakiti mahluk-mahluk bergerak ataupun tak bergerak yang sudah ditentukan untuk suatu tujuan oleh Weda, bukanlah menyakiti sama sekali, karena dari Wedalah hukum-hukum suci itu asalnya.

Dari sloka-sloka di atas nampaklah bahwa penggunaan hewan pada saat upacara yajna bukanlah termasuk dalam pengertian himsa karma. Tetapi justru adalah suatu tujuan suci, yakni mengharapkan agar dengan upacara itu roh yang hewan yang disembelih itu  dapat diangkat (disupat) menjadi mahluk yang lebih mulia atau bahkan menjadi manusia, dan bersama-sama manusia yang menjadikan ia korban masuk ke dalam kebahagiaan yang kekal. Hanya manusialah di dunia ini yang mampu menolong mahluk yang lebih rendah untuk dapat terangkat dari keadaannya itu, melalui upacara. Oleh sebab itu penggunaan daging hewan dalam upacara persembahan yajna adalah sesuai petunjuk kitab suci.     


Rabu, 08 Juni 2011

AGNIHOTRA DAN EFEK PSIKO-KOSMOS


AGNIHOTRA DAN EFEK PSIKO-KOSMOS :
AGNIHOTRA (AGNIHOMA) DAN UPAYA MEWUJUDKAN HARMONISASI
UNIVERSAL PADA SELURUH SISEM KOSMOS
Oleh : I Ketut Donder*)

agnihotraImage

Persembahan yang dijatuhkan kedalam api
akan mencapai matahari dari matahari turunlah hujan (MDh.S. III.76).
Karena makanan mahluk bisa hidup, karena hujan makanan bisa
tumbuh,  karena persembahan hujan turun (Bhg. III.14)

agnihotrapic2ox     agnihotra%20kit
GAMBAR RITUAL AGNIHOTRA
RITUAL VEDA (RAJA UPACARA) SEJAK LAMA TELAH DILUPAKAN OLEH SEBAGIAN BESAR UMAT HINDU NUSANTARA NAMUN BELAKANGAN INI
MULAI NAMPAK BERSINAR KEMBALI   

AGNIHOTRA DAN EFEK PSIKO-KOSMOS :
AGNIHOTRA (AGNIHOMA) DAN UPAYA MEWUJUDKAN HARMONISASI
UNIVERSAL PADA SELURUH SISTEM KOSMOS
Oleh : I Ketut Donder*)

I.    Agama, Ritual, dan Sains 
1.1    Keintelektualan Umat Hindu
Sri Chandrasekarendra Sarasvati Svami (2008:xxvii) memulai wejangannya yang sangat panjang dengan sebuah pertanyaan; mengapa orang-orang Hindu yang terpelajar tidak memahami ajaran agama mereka? Apakah pendidikan mereka telah menjauhkan mereka dari agama dan budaya mereka? Jika demikian, maka hal itu menjadi suatu ironi yang tragis dari orang-orang Hindu. Buku wejangan Chandrasekarendra yang panjang itu telah menjadi sebuah buku yang sangat tebal (± 1000 hlm) dengan judul Hindu Dharma : The Universal Way of Life dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramita Surabaya (2008). Buku ini baik sekali untuk dibaca dalam rangka memperluas wawasan pengetahuan kehinduan.
Kesenjangan pengetahuan umat Hindu terhadap ajaran agama yang seharusnya dipahami sangat mencolok. Kesenjangan pengetahuan itu bukan saja dialami oleh umat Hindu yang awam, tetapi juga dialami oleh umat Hindu yang terpelajar, sebagaimana kata-kata Chandrasekarendra Sarasvati Svami di atas. Oleh sebab itulah kita sering mendengar banyak pendapat intelektual Hindu yang ”ngawur” ketika menguraikan ajaran Hindu di depan umum. Sebagai contoh; adanya pendapat intelektual Hindu yang mengatakan bahwa teologi Hindu tidak jelas atau teologi Hindu itu di awang-awang, sementara intelektual tersebut sangat awam terhadap ilmu teologi dan teologi Hindu. Mestinya ia tidak berhak ngomong yang tidak ia ketahui secara pasti, karena pendapatnya dapat merusak pandangan orang lain yang masih lugu. Seorang intelektual Hindu ”mutlak harus” mengingat dan mencamkan peringatan Bhagavadgita III.21, 26, 33 yang menyatakan bahwa ”orang besar (intelektual) adalah contoh, janganlah orang intelek membodohi orang awam, sikap-pandangan dan perilaku orang intelek akan diikuti oleh yang lainnya”. Ada juga pandangan intelektual Hindu yang menyatakan bahwa Veda bukan produk India atau Veda tidak lahir di India. Pernyataan seperti ini akan menjadi bahan tertawaan anak kecil, sebab sejak SD semua orang baik orang Hindu maupun non-Hindu telah diajarkan melalui catatan sejarah yang telah dibuktikan ribuan tahun bahwa Veda lahir (diturunkan atau diwahyukan dan diterima oleh para maharsi di India). Sebagai seorang Hindu, walaupun merasa intelektual mestinya tidak boleh karena merasa intelek lalu merasa berhak menipu kebenaran sejarah. Memutarbalikkan fakta sejarah yang sesungguhnya adalah perbuatan yang sangat berdosa dan tidak terpuji. Kiranya roh para maharsi yang hanya menetap di Bali saja pun marah mendengarkan tentang kata-kata bahwa Veda tidak lahir di India, sebab para maharsi yang ada di Bali justru datang ke Bali karena mendapat mandat untuk menyebarkan atau mensosialisasikan ajaran Veda di Bali. Agama Hindu memandang bahwa amatlah berdosa sebagai umat Hindu melupakan leluhurnya, leluhur agama Hindu dari India. Jika ada umat Hindu tidak mau menerima pandangan sejarah dan pandangan Agama Hindu itu, maka orang-orang yang demikian itu akan dikelompokkan oleh Emille Durkheim cs., atau oleh para ahli Sejarah Agama sebagai orang-orang penganut Agama Suku atau Agama Terpencil. Sebagai Agama Suku atau Agama Terpencil, maka teologinya juga akan masuk dalam teologi primitif dan atau teologi terpencil. Sekarang timbul pertanyaan, di era modern dengan teknologi yang canggih, yang dapat mencari informasi apa saja, jika Veda dikatakan tidak lahir di India, lalu lahir di mana? Jika jawabannya Veda lahir di gerembengan Dusun Tegal, apakah mau Agama Hindu dikatakan sebagai agama dengan teologi gerembengan, teologi primitif, terpencil, kampungan, teologi bengil cuil, teologi moce? Siapapun orangnya sebagai intelektual Hindu semestinya cerdas dalam menampilkan Agama Hindu di tengah persaingan agama-agama, tidak tampil belog polos bes konyol!!!             

1.2    Agama Hindu
Para ahli dari berbagai negara mengatakan bahwa Agama Hindu adalah agama tertua di dunia dan merupakan nenek moyang semua agama. Svami Sivananda dan Prof. DR. Sarvapali Radhakrishnan mengatakan bahwa kebenaran semua agama dapat ditelusuri melalui Agama Hindu. Tidak ada seorang pun yang dapat membantah kebenaran atas pernyataan ini. Kecuali ilmuwan yang tendensius akan mengatakan bahwa Agama Hindu bukan agama tertua, bahkan mungkin Agama Hindu yang ada sekarangpun dianggap tidak ada. Ada banyak ilmuwan Barat yang memuji dan menghormati Agama Hindu, mereka mengatakan bahwa Agama Hindu adalah agama samudera pengetahuan atau pengetahuan yang mirip rimba raya demikian kata Bleeker, Agama Hindu bebas dari dogma demikian kata Zaehner, ilmu matematika yang ada sekarang ini belum sebanding dengan matematika Veda demikian kata Morgan, Vedanta merupakan keterangan sangat ilmiah tentang hukum-hukum alam demikian kata Herad, Vedanta merupakan usaha untuk meringkas seluruh ilmu pengetahuan begitu pendapat Walker, drama kosmik adalah pikiran Tuhan yang disimbolkan dengan tarian Sivanataraja dalam Agama Hindu, ini pendapat Capra, banyak teori Vedantik yang tetap dapat dipertahankan pada berbagai riset demikian kata Chreighton, di seluruh dunia tidak ada ajaran yang sedemikian luhur dan bermanfaat kecuali Upanisad, biarlah saya mati berbantalkan kitab-kitab Upanisad  demikianlah ucap Schopenhauer, ajaran Upanisad merupakan ajaran konsepsi filosofis yang tiada taranya di dunia, ini pendapat Daussen (Donder, 2001:13-14, 2004:18-21).
Pendapat-pendapat di atas bukan merupakan apologi, karena pendapat ini bukan datang dari umat Hindu atau ilmuwan Hindu, pendapat tersebut justru datang dari ilmuwan non-Hindu. Dengan demikian pastilah pendapat-pendapat mereka bersifat objektif dan dapat dipercaya serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh sebab itu amatlah aneh jika ada umat Hindu bahkan beberapa intelektual Hindu menghujat ajaran agamanya sendiri. Keterbatasan pengetahuan terhadap Veda dan ketakmampuan untuk memahami ajaran Agama Hindu yang bersumber dari Veda tidak boleh dijadikan senjata untuk menghujat Veda. Sejarah menunjukkan bahwa Agama Hindu masih tetap ada sampai saat ini karena Veda bersifat anadi-ananta ’tak berawal dan tak berakhir’. Fakta sejarah ini sudah cukup dijadikan alat bukti bahwa Agama Hindu memiliki daya survival