Powered By Blogger

Senin, 06 Juni 2011

Bahasa sebagai bagian dari budaya

1. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga teicakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Siapa pun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya, karena hanya melalui bahasa seseorang bias berpartisipasi dalam dan mengalami sendiri sebuah budaya. Pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan sebuah budaya adalah pertanda terjadinya perubahan yang laur biasa, dan mungkin dislokasi dan kehancuran budaya, meskipun perasaaan identitas budaya bisa berarti tingkatan atidunal balk radar maupun tidak.   Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilai-nilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Hal ini bukan berarti bahwa pengguna bahasa tertentu dipaksa untuk hanya mengenali kategori-kategori yang disandikan dalam bahasa ibunya. Pembatasan seperti ini setidaknya bisa ditanggulangi dengan pengalaman silang-budaya dan silang¬bahasa, seperti penggunaan bahasa matematika dan bahasa ilmiah yang menyediakan kategori-kategori yang berlainan dari yang dihadapi dalam etnokultur dan bahasa ibunya.   Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani ultra-ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Pergerakan bahasa dan konflik bahasa mempergunakan bahasa sebagai simbol untuk menggerakkan rakyat untuk membela (atau menyerang) dan untuk mengangkat (atau menolak) buaday yang dikaitkan dengan mereka. Baca: Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi II,.;u-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.   2. Nyastra dalam konteks tradisi sekarang ini sering juga mengacu pada makna 'menulis aksara Bali atau huruf Bali pada daun rontal, sehingga setiap ada kegiatan lomba menulis aksara Bali, maka disebut lomba nyastra.. Sesungguhnya nyastra merupakan identifikasi bagi orang yang betul-betul telah mempelajari, mendalami, mengamalkan sastra agama, wariga, usada, babad, tutur, dan lainnya secara holistik-filosofis, sehingga dari ilmunya itu mampu memberikan 'pencerahan batih' pada setiap orang yang membutuhkan.    3.Aksara (huruf, tulisan) adalah sistem tanda-tanda gratis yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi, dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara dengan demikian lebih tidak arbitrer dibandingkan dengan bahasa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang secara ajektif berarti kekal, tetapi pada umumnya diartikan sebagai kata, suku kata dan huruf(baca: Kutha Rana 2005, "Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan". Dalam Keberaksaraan Dalam Kebudayaan. Hal. 132.   4.Bandingkan dengan istilah Skriptografi oleh 1 Gusti Ngurah Bagus. Secara definitif skriptografi menyangkut berbagau kajian yang berkaitan dengan tulisan. Skriptografi berasal dari bahasa latin, dari akar kata script dan graphy. Secara leksikal skript berarti : (a) segala sesuatu yang tertulis, (b) dokumen-dokumen resmi, (c) tulisan ash (tulisan tangan), (d) alpabet. Sedangkan graphy berarti : (a) representasi objek tertentu, (b) tulisan dalam lapangan kajian tertentu. Baca: Kutha Ratna,2005." Peran Aksara dalam perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan" Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Hal. 131.   5.Pengertian Naskah dan teks dalam ilmu filologi memang berbeda, sehingga kita dapat memberikan penjelasan yang berbeda pula. Seperti dalam penggunaan sehari -hari sering istilah teks disamakan dengan istilah naskah, contohnya; teks pidato atau naskah pidato ? dan sebagainya. Pengertian teks dalam filologi adalah menunjukkan pengertian sebagai sesuatu v ang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang kongkret. Oleh karena itu pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian teks adalah kandungan ceritanya, sedangkan naskah adalah media pengungkapan dari ide, gagasan, yang masih bersifat abstrak dari cerita yang bersangkutan. Sebab-sebab terjadinya teks menurut De Haan sebagaimanadikutif oleh Robson (1978:13) sebagai berikut:   1.       Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang/pembawa, dan dapat kena variasi bermacam-macam; turunan¬turunan yang berdiri sendiri terjadi melalui dikte. tiap kali ada pendengar ingin mempunyai teks cerita. 2.       Aslinya adalah sebuah teks tertulis yang kw ing lebih merupakan kerangka yang mengandung kebebasan seni, lantas ada beberapa kemungkinan aslinya disalin begitu saja, atau ditambah dengan perincian tertentu.   Aslinya merupakan teks lengkap yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya karena sudah ada maksud pengarang memakai pilihan kata-kata dan jalan cerita seperti terdapat dalam bentuk literer itu.Dengan demikan filologi sama pengertiannya dengan pengertian tekstologi yakni ilmu yang mempelajari tentang teks. Maka dari itu dalam hal tekstologi dapat pula dibedakan tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks: (1) tekstologi yang menelti sejarah teks lisan, (2) tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip, dan (3) tekstologi yang meneliti sejarah teks cetakan (Teeuw, 1988:254; Baried, 1985:4).   6.Baca: Naskah-naskah Bali menurut Geelong Kenya Singaraja (Suwija,tt:Il). Naskah-naskah yang dimaksudkan di atas adalah naskah-naskah kepustakaan yang terkait dengan tradisi keagamaan Hindu khususnya di Bali. Semua naskah tersebut merupakan dokumen kebahasaab khususnya bahasa Bali atau Jawa Kuna, Aksara dan Sastra Bali. Bandingkan juga Th. Pegeaud, (1967:2-72) Literatur of Java yang telah menggolongkan naskah-naskah keagamaan secara lebih rinci. Di samping itu Ida Bagus Agastia,1985:151)Janis-Jenis Naskah Bali, yang mengutip penngolongan dari Gedong Kirtya dan Pegeaud. Naskah-naskah tersebut merupakan "peti" untuk mempertahankan eksistensi bahasa, aksara dan sastra Bali dulu, sekarang dan yang akan datang.   7.Skriptorium merupakan suatu ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang tunduk pada berbagai peraturan yang ketat. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah (scribe) tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya. Baca: Rujiati Muladi, 1994:53. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: FSUI.   8. Istilah estetik dalam kebudayaan Bali seperti misalnya lengut, pangus, hidup, metaksu, adung, dan sebagainya. Di dalam lingkungan kebudayaan Bali ada prinsip-prinsip estetika yaitu (1) prinsip keseimbangan (simetris, sejajar): dua, tiga, empat, lima, delapan, sembilan dan seterusnya. (2) prinsip campuran: terdiri dari berbagai unsur yang disatukan ke dalam satu wadah: mozaik, prembon, campur sari dan sebagainya. (3) prinsip totalitas (sating keterkaitan) sehingga memberikan kepuasan yang lengkap meliputi kenimatan bayu {energy), sabda (voice or sound), idep (thought). (4) prinsip rame (riuh rendah, hiruk pikuk). (5) prinsip suwung atau sunia atau kosong (Dibia,2002:6). Konsep estetika tersebut mungkin dalam istilah yang lain dapat disebutkan wirama (irama, ritme), wiraga (tenaga), wirasa (emosi, rasa), wicara (dialog/monolog) dan wibawa atau ekspresi dan karisma (Bandem,1996:18). Di samping itu dalam konsep estetika Hindu di Bali khususnya terdapat dalam konsep tiga wisesa : satyam (kebenaran), siwam (kesucian), sundaram (keindahan). Hal ini dikamsudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika, agar kita mampu meneropong roh kita yang terhanyut oleh keindahan (tango) dengan objek ritual magis yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di snalah estetika telah masuk pada ruang kesunyian (suwung). Di sanalah jiwa telah lebar menyatu dengan dewa keindahan yang abadi (Granoka, 1998:28). Oleh karena dalam estetika Hindu yang dipentingkan adalah sebuah dialektika estetik yang selalu menempatkan kebenaran itu suci dan indah, kesucian itu harus benar dan indah, serta keindahan itu harus suci dan mengandung kebenaran.1. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga teicakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Siapa pun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya, karena hanya melalui bahasa seseorang bias berpartisipasi dalam dan mengalami sendiri sebuah budaya. Pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan sebuah budaya adalah pertanda terjadinya perubahan yang laur biasa, dan mungkin dislokasi dan kehancuran budaya, meskipun perasaaan identitas budaya bisa berarti tingkatan atidunal balk radar maupun tidak.   Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilai-nilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Hal ini bukan berarti bahwa pengguna bahasa tertentu dipaksa untuk hanya mengenali kategori-kategori yang disandikan dalam bahasa ibunya. Pembatasan seperti ini setidaknya bisa ditanggulangi dengan pengalaman silang-budaya dan silang¬bahasa, seperti penggunaan bahasa matematika dan bahasa ilmiah yang menyediakan kategori-kategori yang berlainan dari yang dihadapi dalam etnokultur dan bahasa ibunya.   Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani ultra-ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Pergerakan bahasa dan konflik bahasa mempergunakan bahasa sebagai simbol untuk menggerakkan rakyat untuk membela (atau menyerang) dan untuk mengangkat (atau menolak) buaday yang dikaitkan dengan mereka. Baca: Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi II,.;u-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.   2. Nyastra dalam konteks tradisi sekarang ini sering juga mengacu pada makna 'menulis aksara Bali atau huruf Bali pada daun rontal, sehingga setiap ada kegiatan lomba menulis aksara Bali, maka disebut lomba nyastra.. Sesungguhnya nyastra merupakan identifikasi bagi orang yang betul-betul telah mempelajari, mendalami, mengamalkan sastra agama, wariga, usada, babad, tutur, dan lainnya secara holistik-filosofis, sehingga dari ilmunya itu mampu memberikan 'pencerahan batih' pada setiap orang yang membutuhkan.    3.Aksara (huruf, tulisan) adalah sistem tanda-tanda gratis yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi, dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara dengan demikian lebih tidak arbitrer dibandingkan dengan bahasa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang secara ajektif berarti kekal, tetapi pada umumnya diartikan sebagai kata, suku kata dan huruf(baca: Kutha Rana 2005, "Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan". Dalam Keberaksaraan Dalam Kebudayaan. Hal. 132.   4.Bandingkan dengan istilah Skriptografi oleh 1 Gusti Ngurah Bagus. Secara definitif skriptografi menyangkut berbagau kajian yang berkaitan dengan tulisan. Skriptografi berasal dari bahasa latin, dari akar kata script dan graphy. Secara leksikal skript berarti : (a) segala sesuatu yang tertulis, (b) dokumen-dokumen resmi, (c) tulisan ash (tulisan tangan), (d) alpabet. Sedangkan graphy berarti : (a) representasi objek tertentu, (b) tulisan dalam lapangan kajian tertentu. Baca: Kutha Ratna,2005." Peran Aksara dalam perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan" Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Hal. 131.   5.Pengertian Naskah dan teks dalam ilmu filologi memang berbeda, sehingga kita dapat memberikan penjelasan yang berbeda pula. Seperti dalam penggunaan sehari -hari sering istilah teks disamakan dengan istilah naskah, contohnya; teks pidato atau naskah pidato ? dan sebagainya. Pengertian teks dalam filologi adalah menunjukkan pengertian sebagai sesuatu v ang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang kongkret. Oleh karena itu pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian teks adalah kandungan ceritanya, sedangkan naskah adalah media pengungkapan dari ide, gagasan, yang masih bersifat abstrak dari cerita yang bersangkutan. Sebab-sebab terjadinya teks menurut De Haan sebagaimanadikutif oleh Robson (1978:13) sebagai berikut:   1.       Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang/pembawa, dan dapat kena variasi bermacam-macam; turunan¬turunan yang berdiri sendiri terjadi melalui dikte. tiap kali ada pendengar ingin mempunyai teks cerita. 2.       Aslinya adalah sebuah teks tertulis yang kw ing lebih merupakan kerangka yang mengandung kebebasan seni, lantas ada beberapa kemungkinan aslinya disalin begitu saja, atau ditambah dengan perincian tertentu.   Aslinya merupakan teks lengkap yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya karena sudah ada maksud pengarang memakai pilihan kata-kata dan jalan cerita seperti terdapat dalam bentuk literer itu.Dengan demikan filologi sama pengertiannya dengan pengertian tekstologi yakni ilmu yang mempelajari tentang teks. Maka dari itu dalam hal tekstologi dapat pula dibedakan tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks: (1) tekstologi yang menelti sejarah teks lisan, (2) tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip, dan (3) tekstologi yang meneliti sejarah teks cetakan (Teeuw, 1988:254; Baried, 1985:4).   6.Baca: Naskah-naskah Bali menurut Geelong Kenya Singaraja (Suwija,tt:Il). Naskah-naskah yang dimaksudkan di atas adalah naskah-naskah kepustakaan yang terkait dengan tradisi keagamaan Hindu khususnya di Bali. Semua naskah tersebut merupakan dokumen kebahasaab khususnya bahasa Bali atau Jawa Kuna, Aksara dan Sastra Bali. Bandingkan juga Th. Pegeaud, (1967:2-72) Literatur of Java yang telah menggolongkan naskah-naskah keagamaan secara lebih rinci. Di samping itu Ida Bagus Agastia,1985:151)Janis-Jenis Naskah Bali, yang mengutip penngolongan dari Gedong Kirtya dan Pegeaud. Naskah-naskah tersebut merupakan "peti" untuk mempertahankan eksistensi bahasa, aksara dan sastra Bali dulu, sekarang dan yang akan datang.   7.Skriptorium merupakan suatu ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang tunduk pada berbagai peraturan yang ketat. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah (scribe) tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya. Baca: Rujiati Muladi, 1994:53. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: FSUI.   8. Istilah estetik dalam kebudayaan Bali seperti misalnya lengut, pangus, hidup, metaksu, adung, dan sebagainya. Di dalam lingkungan kebudayaan Bali ada prinsip-prinsip estetika yaitu (1) prinsip keseimbangan (simetris, sejajar): dua, tiga, empat, lima, delapan, sembilan dan seterusnya. (2) prinsip campuran: terdiri dari berbagai unsur yang disatukan ke dalam satu wadah: mozaik, prembon, campur sari dan sebagainya. (3) prinsip totalitas (sating keterkaitan) sehingga memberikan kepuasan yang lengkap meliputi kenimatan bayu {energy), sabda (voice or sound), idep (thought). (4) prinsip rame (riuh rendah, hiruk pikuk). (5) prinsip suwung atau sunia atau kosong (Dibia,2002:6). Konsep estetika tersebut mungkin dalam istilah yang lain dapat disebutkan wirama (irama, ritme), wiraga (tenaga), wirasa (emosi, rasa), wicara (dialog/monolog) dan wibawa atau ekspresi dan karisma (Bandem,1996:18). Di samping itu dalam konsep estetika Hindu di Bali khususnya terdapat dalam konsep tiga wisesa : satyam (kebenaran), siwam (kesucian), sundaram (keindahan). Hal ini dikamsudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika, agar kita mampu meneropong roh kita yang terhanyut oleh keindahan (tango) dengan objek ritual magis yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di snalah estetika telah masuk pada ruang kesunyian (suwung). Di sanalah jiwa telah lebar menyatu dengan dewa keindahan yang abadi (Granoka, 1998:28). Oleh karena dalam estetika Hindu yang dipentingkan adalah sebuah dialektika estetik yang selalu menempatkan kebenaran itu suci dan indah, kesucian itu harus benar dan indah, serta keindahan itu harus suci dan mengandung kebenaran.1. Bahasa sebagai bagian dari budaya: sebagaian besar perilaku manusia dilingkupi oleh bahasa, sehingga bahasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Upacara, ritual, nyanyian, ceritera, mantera, kutukan, doa, dan hukum, semuanya adalah tindak atau kejadian bahasa. Kawasan budaya kompleks tertentu seperti sosialisasi, pendidikan, pertukaran dan negosiasi juga teicakup dalam bahasa. Dengan demikian bahasa tidak hanya bagian dari budaya tetapi juga menjadi unsur pentingnya. Siapa pun yang akan memasuki dan memahami sebuah budaya harus menguasai bahasanya, karena hanya melalui bahasa seseorang bias berpartisipasi dalam dan mengalami sendiri sebuah budaya. Pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan sebuah budaya adalah pertanda terjadinya perubahan yang laur biasa, dan mungkin dislokasi dan kehancuran budaya, meskipun perasaaan identitas budaya bisa berarti tingkatan atidunal balk radar maupun tidak.   Bahasa sebagai indeks budaya; Peran bahasa sebagai indeks budaya adalah produk (pada tingkatan yang lebih abstrak dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Tentu saja bahasa menyediakan istilah-istilah leksikal bagi beragam benda budaya, nilai-nilai dan perilaku yang diakui dalam budaya tersebut. Namun di luar itu, bahasa juga menyediakan tipologi asli dimana acuan-acuan tersebut dikelompokkan. Warna, gejala penyakit, hubungan kekerabatan, makanan, tanaman, bagian-bagian tubuh, spesies binatang adalah tipologi berdasarkan ikatan budaya serta kualitas-kualitas sistematis yang mendapat pengakuan budaya diungkapkan oleh bahasa berdasarkan ikatan budaya terkait. Hal ini bukan berarti bahwa pengguna bahasa tertentu dipaksa untuk hanya mengenali kategori-kategori yang disandikan dalam bahasa ibunya. Pembatasan seperti ini setidaknya bisa ditanggulangi dengan pengalaman silang-budaya dan silang¬bahasa, seperti penggunaan bahasa matematika dan bahasa ilmiah yang menyediakan kategori-kategori yang berlainan dari yang dihadapi dalam etnokultur dan bahasa ibunya.   Bahasa sebagai simbol kebudayaan; Bahasa adalah sistem simbol manusia yang paling lengkap; tidak heran jika bahasa tertentu menjadi simbol dari sebuah etnokultur. Ini bukan hanya kasus sebuah bagian mewakili keseluruhan (seperti kaum Yiddish yang secara stereotif merasa mewakili orang Eropa Timur yang berasal dari budaya Ibrani ultra-ortodoks) tetapi juga ketika bagian tersebut menjadi suatu rangkaian simbol bagi (atau menentang) keseluruhan, dalam beberapa kasus, menjadi penyebab (atau sasaran) dalam atau bagi dirinya sendiri. Pergerakan bahasa dan konflik bahasa mempergunakan bahasa sebagai simbol untuk menggerakkan rakyat untuk membela (atau menyerang) dan untuk mengangkat (atau menolak) buaday yang dikaitkan dengan mereka. Baca: Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi II,.;u-Ilmu Sosial. Edisi Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.   2. Nyastra dalam konteks tradisi sekarang ini sering juga mengacu pada makna 'menulis aksara Bali atau huruf Bali pada daun rontal, sehingga setiap ada kegiatan lomba menulis aksara Bali, maka disebut lomba nyastra.. Sesungguhnya nyastra merupakan identifikasi bagi orang yang betul-betul telah mempelajari, mendalami, mengamalkan sastra agama, wariga, usada, babad, tutur, dan lainnya secara holistik-filosofis, sehingga dari ilmunya itu mampu memberikan 'pencerahan batih' pada setiap orang yang membutuhkan.    3.Aksara (huruf, tulisan) adalah sistem tanda-tanda gratis yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi, dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Aksara dengan demikian lebih tidak arbitrer dibandingkan dengan bahasa. Secara etimologis aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang secara ajektif berarti kekal, tetapi pada umumnya diartikan sebagai kata, suku kata dan huruf(baca: Kutha Rana 2005, "Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan". Dalam Keberaksaraan Dalam Kebudayaan. Hal. 132.   4.Bandingkan dengan istilah Skriptografi oleh 1 Gusti Ngurah Bagus. Secara definitif skriptografi menyangkut berbagau kajian yang berkaitan dengan tulisan. Skriptografi berasal dari bahasa latin, dari akar kata script dan graphy. Secara leksikal skript berarti : (a) segala sesuatu yang tertulis, (b) dokumen-dokumen resmi, (c) tulisan ash (tulisan tangan), (d) alpabet. Sedangkan graphy berarti : (a) representasi objek tertentu, (b) tulisan dalam lapangan kajian tertentu. Baca: Kutha Ratna,2005." Peran Aksara dalam perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-nilai Kelisanan dan Keberaksaraan" Dalam Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Hal. 131.   5.Pengertian Naskah dan teks dalam ilmu filologi memang berbeda, sehingga kita dapat memberikan penjelasan yang berbeda pula. Seperti dalam penggunaan sehari -hari sering istilah teks disamakan dengan istilah naskah, contohnya; teks pidato atau naskah pidato ? dan sebagainya. Pengertian teks dalam filologi adalah menunjukkan pengertian sebagai sesuatu v ang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang kongkret. Oleh karena itu pemahaman terhadap teks klasik hanya dapat dilakukan lewat naskah yang merupakan alat penyimpanannya. Dengan demikian teks adalah kandungan ceritanya, sedangkan naskah adalah media pengungkapan dari ide, gagasan, yang masih bersifat abstrak dari cerita yang bersangkutan. Sebab-sebab terjadinya teks menurut De Haan sebagaimanadikutif oleh Robson (1978:13) sebagai berikut:   1.       Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang/pembawa, dan dapat kena variasi bermacam-macam; turunan¬turunan yang berdiri sendiri terjadi melalui dikte. tiap kali ada pendengar ingin mempunyai teks cerita. 2.       Aslinya adalah sebuah teks tertulis yang kw ing lebih merupakan kerangka yang mengandung kebebasan seni, lantas ada beberapa kemungkinan aslinya disalin begitu saja, atau ditambah dengan perincian tertentu.   Aslinya merupakan teks lengkap yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaanya karena sudah ada maksud pengarang memakai pilihan kata-kata dan jalan cerita seperti terdapat dalam bentuk literer itu.Dengan demikan filologi sama pengertiannya dengan pengertian tekstologi yakni ilmu yang mempelajari tentang teks. Maka dari itu dalam hal tekstologi dapat pula dibedakan tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks: (1) tekstologi yang menelti sejarah teks lisan, (2) tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip, dan (3) tekstologi yang meneliti sejarah teks cetakan (Teeuw, 1988:254; Baried, 1985:4).   6.Baca: Naskah-naskah Bali menurut Geelong Kenya Singaraja (Suwija,tt:Il). Naskah-naskah yang dimaksudkan di atas adalah naskah-naskah kepustakaan yang terkait dengan tradisi keagamaan Hindu khususnya di Bali. Semua naskah tersebut merupakan dokumen kebahasaab khususnya bahasa Bali atau Jawa Kuna, Aksara dan Sastra Bali. Bandingkan juga Th. Pegeaud, (1967:2-72) Literatur of Java yang telah menggolongkan naskah-naskah keagamaan secara lebih rinci. Di samping itu Ida Bagus Agastia,1985:151)Janis-Jenis Naskah Bali, yang mengutip penngolongan dari Gedong Kirtya dan Pegeaud. Naskah-naskah tersebut merupakan "peti" untuk mempertahankan eksistensi bahasa, aksara dan sastra Bali dulu, sekarang dan yang akan datang.   7.Skriptorium merupakan suatu ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang tunduk pada berbagai peraturan yang ketat. Segala peralatan yang diperlukan di dalam skriptorium disediakan oleh seorang petugas khusus. Para petugas yang menyalin naskah (scribe) tidak diperbolehkan mengubah sesuatu di dalam teks, walaupun ada kesalahan di dalam teks yang dihadapinya. Baca: Rujiati Muladi, 1994:53. Kodikologi Melayu di Indonesia. Jakarta: FSUI.   8. Istilah estetik dalam kebudayaan Bali seperti misalnya lengut, pangus, hidup, metaksu, adung, dan sebagainya. Di dalam lingkungan kebudayaan Bali ada prinsip-prinsip estetika yaitu (1) prinsip keseimbangan (simetris, sejajar): dua, tiga, empat, lima, delapan, sembilan dan seterusnya. (2) prinsip campuran: terdiri dari berbagai unsur yang disatukan ke dalam satu wadah: mozaik, prembon, campur sari dan sebagainya. (3) prinsip totalitas (sating keterkaitan) sehingga memberikan kepuasan yang lengkap meliputi kenimatan bayu {energy), sabda (voice or sound), idep (thought). (4) prinsip rame (riuh rendah, hiruk pikuk). (5) prinsip suwung atau sunia atau kosong (Dibia,2002:6). Konsep estetika tersebut mungkin dalam istilah yang lain dapat disebutkan wirama (irama, ritme), wiraga (tenaga), wirasa (emosi, rasa), wicara (dialog/monolog) dan wibawa atau ekspresi dan karisma (Bandem,1996:18). Di samping itu dalam konsep estetika Hindu di Bali khususnya terdapat dalam konsep tiga wisesa : satyam (kebenaran), siwam (kesucian), sundaram (keindahan). Hal ini dikamsudkan untuk mencapai ruang estetika metafisika, agar kita mampu meneropong roh kita yang terhanyut oleh keindahan (tango) dengan objek ritual magis yaitu penyucian sang diri (katharsis). Di snalah estetika telah masuk pada ruang kesunyian (suwung). Di sanalah jiwa telah lebar menyatu dengan dewa keindahan yang abadi (Granoka, 1998:28). Oleh karena dalam estetika Hindu yang dipentingkan adalah sebuah dialektika estetik yang selalu menempatkan kebenaran itu suci .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar