Powered By Blogger

Senin, 06 Juni 2011

Aksara dan Bahasa


1   Beberapa Catatan Tentang Aksara dan Bahasa
     Cacatan penggunaan dan perkembangan aksara di Indonesia setidaknya dapat dirujuk karya Casparis (1975) yang berjudul Indonesian Palaegrafi, dijelaskan bahwa pemakaian aksara Pallawa telah dimulai sejak abad VII hingga akhir abad VIII, setelah itu di Indonesia dipakai huruf Jawa sampai abad XV, yaitu sampai zaman klasik Hindu­Budha (Riyadi, 1996). Aksara di Nusantara dapat dikiasifikasikan menjadi tiga periode, yaitu: periode klasik, periode Islam, dan periode kolonial. Periode klasik Hindu-Buddha yang dijumpai di Nusantara adalah aksara Pallawa, pasca Pallawa dan aksara Kawi. Periode Islam memakai aksara Arab, aksara Arab Melayu, aksara Pegon dan aksara Serang. Sedangkan pada periode kolonial memakai aksara Gotik, aksara Latin dan dalam perkembangannya menjadi aksara nasional di Indonesia.

     Perkembangan aksara di wilayah nusantara dapat dilihat dalam dua model (Van Leur, 1933), yaitu yang menyebarkan aksara tersebut adalah kaum Brahmana (disebut teori Brahmana) dan teori F.D.K. Bosh (1952) yang menjelaskan bahwa penyebarluasan aksara di nusantara adalah orang-orang Jawa yang belajar di India (Tim, 1997). Terlepas dari teori yang mana lebih tepat, bukanlah sesuatu yang penting, namun kedua teori tersebut telah memberi catatan penting dalam sejarah keaksaraan di Indonesia, sehingga Indonesia mulai mengalarni zaman sejarah sejak ditemukannya sistem aksara sebagai cikal-bakal tradisi tulis.

     Para peneliti sebelumnya, baik ahli epigrafi maupun arkeologi telah mencermati bahwa perubahan aksara dari waktu ke waktu beradaptasi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pengertian bahwa keberadaab aksara itu akan menyerap warna budaya lokal di mana aksara itu digunakan oleh pendukung kebudayaan aksara itu sendiri. Perubahan aksara (Riyadi, 1996) tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Aksara Pallawa awal, dipakai sebelum abad VII M, misalnya prasasti Tugu Bogor.
b.      Aksara Pallawa tahap akhir, dipakai pada abad VII sampai pertengahan abad VIII M, misalnya prasasti di Canggal, Kedu dan Magelang.
c.       Aksara Kawi atau Jawa Kuna tahap awal dipakai pada tahun 750 M -725 M, misalnya prasasti Balengan di Kalasan Yogyakarta.
d.      Aksara.Kawi atau Jawa Kuna tahap akhir dipakai tahun 925 M-1250 M, misalnya prasasti Airlangga.
e.      Aksara Majapahait dan aksara daerah/lokal dipakai pada tahun 1250 - 1450 M, misalnya prasasti Singasari dan lontar Kunjarakarna.
f.        Aksara Jawa Baru, dipakai pada tahun 1500 sampai sekarang, misalnya pada kitab Sulah Bonang dan kitab yang lebih muda Selain itu, hal penting perlu dikemukakan di sini adalah aksara

     Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta, seperti yang digunakan dalam pasasti Canggal (Sleman), Jawa Tengah (732 M). Perkembangan aksara Kawi dalam budaya Jawa sangatt erat kaitannya dengan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama abad VII dan VIII M. Periode Singasari dan Majapahit bahasa Jawa Kuna dapat dilihat dalam teks-teks kakawin, seperti kakawin Pujastawa (Tim, 1997).

     Di daerah lain, seperti Sunda, Bugis, Bali dan beberapa daerah yang mengenal aksara memiliki kehidupan masing-masing dalam kazanah kebudayaannya. Contohnya aksara Bali dalam periode belakangan digunakan untuk sarana penulisan Jawa Kuna dan Bali. Pesatnya tradisi penulisan dalam berbagai sanggar penulisan naskah (scriptorium)4 disebabkan oleh teks ataupun naskah di Bali digunakan dalam berbagai kegiatan adat dan agama Hindu, khususnya dalam konteks pembacaan naskah yang disebut tradisi pesantian. Sangat berbeda dengan tradisi di Jawa. Di sini terjadi adaptasi penggunaan bahasa dan aksara disesuaikan sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda halnya dengan huruf latin, kini digunakan dalam penulisan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa nasional yang disampaikan dalam acara resmi kenegaraan, acara formal. di sekolah-sekolah, dan sarana komunikasi antar masyarakatnya, sarana kebudayaan dan lain-lain. Bahasa dan aksara latin dalam konteks budaya modern dan juga global digunakan sebagai bahasa dalam pemahamanalih teknologi dan ilmu pengetahuan (sciense). Hal ini disebabkan beberapa kelemahan dalam aksara dan bahasa daerah di nusantara untuk "mewahanai konsep ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.2Fungsi Aksara dan Bahasa
     Aksara dan bahasa memiliki kedudukan dan fungsi dalam kehadirannya. Kedudukan di sini diartikan bahwa aksara dan bahasa ditempatkan dalam ranah kehidupan kemanusiaan sama dengan bidang-bidang lainnya, karena dapat memberi makna kehidupan manusia. Demikian pula fungsi di sini, bahwa aksara dan bahasa memiliki manfaat dalam kehidupan berbudaya karena dapat memberikan makna dalam kehidupan dalam memperkuat jati diri (baca: ungkapan bahasa menunjukkan bangsa). Dengan ungkapan tersebut jelas bahwa aksara dan bahasa suatu suku bangsa atau bangsa menunjukkan identitas suku atau bangsa yang bersangkutan. Bahasa maupun aksara adalah bagian penting dari penataan kehidupan manuasia dalam aspek tatakrama dan nilai rasa kemanusiaan itu sendiri. Bahasa, dan aksara adalah simbol ungkapan pikiran, perasaaan (emosional), spiritualitas, perilaku, asal-usul etnis, peradaban, seni dan sebagainya.

     Berkaitan dengan usaha-usaha kajian ke arah fungsi di sini dikemukakan beberapa fungsi aksara (Jawa), yaitu fungsi filsafat dalam huruf Jawa dengan falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Jawa. Contoh makna ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la-, pa-da-ja-ya-nya, ma-ga-bu-tha-nga-, memiliki makna hidup dalam masyarakat Jawa yang disebut ilmu kaweruh/ilmu sangkan parang dumudi (Timoer, 1994 ; Hendricus, 2003). Dalam konteks kebudayaan Jawa Aksara telah membatin dalam sanubari orang Jawa, artinya aksara berkaitan dengan struktur anatomi manusia Jawa dalam perspektif filsafat ngelmu kaweruh. Susunan tubuh manusia dalam pemahaman ini terdiri dari susunan aksara-aksara yang sedemikian rupa dan masing-masing aksara memberi rang makna terhadap fungsi tubuh manusia Jawa. (Bandingkan dengan penggunaan aksara dalam upacara kematian di Bali; Baca : Kajang). Aksara memiliki berbagai magis dalam Rajah Kala Cakra atau Semar berpengaruh sastra Denta Wiajana aksara Jawa berfungsi estetis, fungsi pragmatik (Hendricus, 2005)

     Berkaitan dengan studi aksara di Bahasa Bali di sini dikemukakan model kajian aksara dan bahasa Bali, aksara dan bahasa penting dalam kehidupan masyarakat Bali terutama mengenai orientasi hidup nyata kekinian (dalam asek keagamaan dan estetika) serta aspek ketuhanan (simbol-simbol) yang dimunculkan dalam aksara Bali, sehingga dalam masyarakat Bali keseimbangan hidup penting, seperti aspek duniawi dan sorgawi (alam alam ke-Tuhanan), aspek sakala-niskala.

2.2.1          Aksara berfungi Simbolik
     Bentukan-bentukan aksara menyimbolkan kekuatan Sanghyang Widhi, seperti simbol aksara A- U-M (OM), sebagai simbol Dewa Berahma (A), Dewa Wisnu (U), dan Siwa (A/), AUM juga sebagai simbol Tri Buwana (tiga dunia), yaitu dunia bawah, tengah, dan atas. Fungsi aksara lebih kompleks dipakai dalam pangider-ider (arah mata angin sebagai simbol kosmologi Hindu), dengan simbol senjata, wama, dan aksara. Mata angin di sini secara kosmologi merupakan arah keluhuran, kesucian, keindahan dan kebenaran. Oleh karena itu, konsep mata angin ini tidak dapat dipertukarkan satu sama lain, baik warna, aksara, lambang, dan sebagainya (Baca: konsep luan-teben, kaja kangin, kaja).

Setiap ritual di Bali (yadnya) baik itu, Dewa Yajnya, Pitra Yajnya, Manusa Yajnya, Rest Yajnya, dan Buta Yajnya selalu menggunakan gambar/huruf yang disebut aksara modre dan wijaksara. Konseppangider-ider (dalam upacara Butha Yajnya)
disimbolkan'sebagai berikut :
   
 1. Tempat di utara
Dewa          Wisnu
Aksara        Ang
Senjata      Cakra
Warna        Hitam
Urip            4

2. Tempat di timur laut
Dewa       Sambu
Aksara     Wang
Senjata    Trisula
Urip           6

3. Tempat di timur
Dewa         Iswara
Aksara      Sang
Senjata     Barja
Warna       Putih
Urip           5

4. Tempat di tenggara
Dewa      Mahesora
Aksara    Nang
Senjata   Dupa
Warna     Dadu
Urip         8

      Makna konsep pangider-ider (simbol keseimbangan) ini agar dapat menempatkan arah-arah posisi suci di dalam alam pulau Bali, terutama letak kesucian pembuatan danletak pura-pura. Dengan tujuan agar pulau Bali dapat tetap seimbang dan harmonis dengan pusat Pura Besakih.

     Fungsi simbolik aksara dan bahasa ini adalah berhubungan dengan teologi khususnya susunan Dewa-dewa dalam pantheon Hindu. Setiap arah vertikal dan horizontal disimbolkan dengan aksara (baca: Wijaksara). Demikian pula hampir setiap ritual Hindu khususnya selalu menggunakan lambang-lambang aksara sebagai perlengkapannya, baik dalam bentuk rerajahan pada tempat, sarana upacara, atribut, ulap-ulap, kajang, dan sebagainya.

2.2.2     Fungsi Bahasa dan Aksara dalam Naskah dan Teks Keagamaan
      Tradisi teks5 khususnya yang menyangkut teks dan naskah suci sesungguhnya merupakan kunci pemertahanan aksara, bahasa, dan sastra Bali itu sendiri. Analoginya adalah sebagaimana halnya bahasa Jawa Kuno sekarang ini,  sulit dilacak jejaknya jika saja aksara, bahasa dan sastra Jawa Kuno itu tidak tersimpan pada teks dan naskah pada prasasti, dam rontal dan sebagainya baik yang berupa karya kekawin, gancaran, babad, dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan aksara, bahasa dan sastra Bali, tradisi teks dan naskah pustaka suci mampu bertahan hingga kini dan di masa yang akan datang, salah satunya disebabkan oleh tradisi teks dan naskah seperti itu. Dalam kepustakaan suci atau yang berkaitan dengan tradisi keagamaan di Bali dapat dilihat betapa banyak dokumen kebahasaan yang tersimpan dalam naskah-naskah tersebut. Naskah tersebut ada beberapa yang langsung menyangkut tata bahasa, seperti lontar Aji Saraswati, Kertabasa, Griguh, Widhi papincatan, Dasanama dan lain sebagainya. Beberapa catatan patut disimak di sini bahwa menurut penggolongan naskah-naskah Bali sebagai dokumen kebahsaan seperti pada kelompok I. Weda; (a) Weda-weda yang terdapat di bali, memakai bahasa Sanskerta dan kadang-kadang kata-kata Jawa Kuno dan Bali, (b) Mantra, menurut perkembangannya berasal dari Jawa dan Bali, (c) Kalpasastra (ritualia) rontal-rontal yang isinya memuat tentang upacara-upacara keagamaan. II. Agama; (a) Palakerta, buku-buku peraturan sebagaimana halnya dengan kitab-kitab Dharmasastra. kerta sima, awig-awig, (b) Sesana, buku buku petunjuk tentang kesusilaan, moral, (c) Niti, kitab-kitab hukum maupun perundang-undangan yang dipergunakan pada zaman kerajaan. III. Wariga; (a) Wariga, pengertian tentang astronomi dan astrologi, (b) Tutur, juga bernama upadesa, pengetahuan tentang kosmos, erat kaitannya dengan agama, (c) Kanda, tentang ilmu bahasa, bangunan, mitologi, maupun tentang pengetahuan khusus, (d) Usada, rontal pengobatan tradisonal. IV. Itihasa; (a) Parwa, yang disusun dalam bentuk prosa Jawa Kuna, (b) Kakawin, disusun berdasarkan mat/tembang gede India Kuna, (c) Kidung, kesusastraan yang disusun dengan tembang tengahan {sekar madya) dengan bahasa Jawa Tengahan, (d) Geguritan, kesusastraan yang disusun dengan tembang macepat seperti sinom, pangkur dan sebagainya dan menggunakan bahasa Bali.6

     Naskah-naskah tersebut di atas adalah naskah pokok, sehingga jika dicermati belum termasuk berapa puluh atau ratus salinan yang tersebar di masyarakat untuk dipelajari, bahkan kini muncul kecenderungan berbagai skriptorium7 untuk melestarikan keberadaan aksara, bahasa dan sastra Bali itu sendiri. Dengan demikian tidak sedikit manfaat yang diperoleh dari tradisi teks khususnya yang menyangkut tradisi keagamaan di Bali.

2.2.3. Fungsi Komunikasi Budaya dan Agama
      Sebagai sarana utama komunikasi keberaksaraan menurut Coulmas (Dalam Kutha Ratna,2005:141) memiliki keunggulan dibandinhgkan dengan kelisanan sebagai berikut: (a) keberaksaraan bersifat diskret, (b) beraksaraan tidak terikat pada waktu penulisan, (c) keberaksaraan bersifat otonom, (d) keberaksaran bersifat kekal, (e) keberaksaraan dapat diketahui dari penglihatan, dan (f) keberaksaraan dihasilkan melalui tangan. Sedangkan bahasa memiliki tujuh ciri menurut Teeuw (1989:26-30) sebagai berikut : (a) Dalam tidak komunikasi dengan bahasa tulis (aksara) antara pendengar dan pembicara kehilangan sarana komunikasi paling hakiki untuk terjadi dan berhasilnya komunikasi, (b) dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara pembicara dengan pendengar, (c) dalam hal teks tulis seringkali penulis malahan tidak hadir sebagaian atau pun seluruhnya dalam situasi komunikasi, (d) teks tertulis juga mungkin sekali makin lepas dari kerangka referensi aslinya, (e) tetapi pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau dibandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi, yakni pengulangan membaca dapat dilakukan berulang-ulang, (f) teks tertulis pada prinsipnya dapat diproduksi dalam berbagai bentuk, fotocopy, stensilan, buku dan sebagainya, (g) komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak dalam hal ruang, waktu, dan juga dari segi kebudayaannya.

     Berdasarkan keunggulan keberaksaraan dan juga ciri-ciri bahasa tersebut di atas, maka aksara dan bahasa dalam hal ini bahasa dan aksara Bali, sesungguhnya dapat digunakan sebagai ruang komunikasi dalam perspektif kebudayaan dan agama Hindu. Ruang yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai kebudayaan, adat, dan agama Hindu dengan metode apa yang disebut Dharma Wacana (Kothbah Islam). Dharma wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhir­akhir ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di seluruh Indonesia. Namun khusus dharma wacana di Bali masih lebih dominan menggunakan bahasa Bali dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Sebagai ilustrasi tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang hampir setiap hart beliau memberikan dharma wacana ke seluruh pelosok Bali, jelas misi yang diemban beliau bukan hanya pencerahan agama Hindu, namun yang secara tidak langsung adalah pelestarian dan pemertahanan aksara, bahasa, dan sastra Bali. Jika ada seratus tokoh pendharma wacana yang menggunakan bahasa Bali sebagai media penyampaiannya, maka ke depan orang Bali optimis aksara, bahasa, dan sastra Bali akan tetap lestari dan mendapat dukungan masyarakat Bali.

     Belakangan ini yang cukup mengembirakan juga adalah ada momentum tertentu, seperti ulang tahun sekaa teruna, sekolah, lembaga, porsenijar, PKB atau perayaan hari penting lainnya senantiasa terdapat kegiatan, seperti: lomba dharma berbahasa Bali, lomba nyastra, masatua Bali yang pesertanya rata-rata anak usia sekolah mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Jika kegiatan semacam ini konsisten dan berlanjut dilakukan, mungkin ini juga masuk dalam strategi pembinaan dan pengembangan aksara, bahasa dan sastra Bali di masa yang akan datang.

     Di samping itu fungsi komunkasi yang lainnya adalah d,iarma tula adalah pola diskusi yang dilakukan terkait dengan sustu topik keagamaan tertentu. Berlainan dengan dharma wacana yang hanya satu arah (ceramah), dharma tula adalah dua arah atau hampir sama dengan kegiatan seminar. Dharma tula umumnya dilakukan pada saat: renungan malam siwa ratri, malam banyu pinaruh (malam Saraswati), perayaan malam purnama (di Jagatnatha, Besakih, dan-lain-lainya). Dharma tula ini meskipun tidak mewajibkan menggunakan bahasa Bali, narnun sering juga kegiatan ini menggunakan bahasa Bali khususnya di desa-desa pekraman. Di bandingkan dengan dharma wacana, kegiatan dharma tula ini relatif lebih jarang dilakukan. Namun demikian, tetap bentuk kegiatan ini dapat dimasukkan sebagai wadah penyemaian aksara, bahasa, dan sastra Bali yang cukup efektif di bandingkan dengan pengajaran aksara, bahasa dan sastra Bali di sekolah secara formal. Untuk itu langkah-langkah yang perlu diambil untuk rnenghidupkan kegiatan ini adalah setiap ada piodalan seyogyanya dilakukan dharma tula ini untuk:

2.2.4. Fungsi Estetika
      Bahasa dalam perspekti seni menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya berbeda dengan cat, batu, perunggu. gerak-gerik, not-not yang merupakan sarana untuk seni. Bahasa sendiri, sebelum dipakai oleh seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan (teeuw, 1989:346). Dengan demikian, maka bahasa dan juga aksara memiliki fungsi estetika selain makna yang secara khas telah dimilikinya. Dalam konteks kebudayaan Bali khususnya, estetika bahasa dan sastra sangat terkait dengan apa yang disebut dengan sastra tembang (baca:dharmagita), kemudian juga rerajahan (baca: kaligrafi), sastra yantra (sastra dalam konsep yoga), dan sebagainya.

     Fungsi estetika sesunggulmya berkaitan dengan nyanyian atau tembang yang dalam istilah kebudayaan Bali dikenal dengan Dharmagita berasal dari bahasa Sanskerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu dharma dan gita. Dharma artinya kebenaran, kebajikan, agama. Gita artinya nyanyian atau lagu (Tim Penyusun,2001:150). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dharmagita dapat diartikan nyanyian kebenaran. Penggunaan dharmagita dalam berbagai ritual agama Hindu dapat membantu dalam menciptakan suasana hening atau khusuk dengan landasan satyam, ciwam, sundaram 10. Di samping itu, dilihat dari tema-tema syair yang digunakan mengandung. pendidikan budhi pekerti, seperti yang tertuang di dalam ajaran agama: tatwa, etika, dan ritual. Yang merupakan tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebenaran Ida Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud prabhwawnya yang dipuji-puji oleh umat Hindu (Warjana, 1997:2). Dalam tradisi dharmagita ini kegiatan kebahasaan dapat dijelaskan sebagai
  1. Pembacaan (pangewacen); tentu telah paham bentul tentang tata bahasa, lagu, aksara dan sebagainya sesuai dengan karakter pupuh/tembang.
  2. Penerjemah (juru basa) ; tentu juga paham tata bahasa, anggah-ungguhing basa, kirata basa, dan juga butir (1) di atas.
  3. Pembahas (pamidarta) yang mecoba memberikan ulasan terhadap berbagai aspek dari karya yang dibacakan.
  4. Penanya (pamitaken) yang mencoba membuka diskusi tentang berbagai aspek yang sesuai dengan kegiatan ketiga butir di atas.
  5. Penonton (pamiarsa) yang secara tidak Iangsung telah ikut mendengar, memperhatikan, mencermati dan sebagainya
      Sebagai bukti eratnya kaitan seni dan agama Hindu di Bali adalah adanya penggolongan kesenian Bali menjadi tiga golongan, yaitu seni Wali, seni Bebali, dan seni Balih-balihan. Seni Wall adalah seni sakral dan hanya dipentaskan pada saat upacara Dewa Yadnya di pura tertentu, seni Bebali adalah seni sakral dan dipentaskan dalam kaitannya dengan upacara adat tertentu sedangkan seni Balih-balihan termasuk seni hiburan yang bersifat sekuler (Bandem, 1996:49). Sebagai contoh Topeng Pajegan dipertunjukkan dalam kaitannya dengan upacara keagamaan, yakni sebagai suatu pengukuhan akan sukses dan berhasil selesainya pelaksanaan upakara dari sebuah upacara atau siddhakarya (Catra, 1997:100). Oleh karena itu, Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena fungsinya untuk upacara keagamaan (panca yadnya) dan dipentaskan sejajar dengan wayang Lemah (wayang upacara) serta dilakukan tepat pada waktu para Sulinggih atau pendeta melakukan upacara (Bandem dan I Nyoman Rembang,1976:12). Dengan demikian. pemahaman akan Topeng Pajengan menjadi jelas dalam konteks kebudayaan Bali yang bernafaskan agama Hindu, sehingga kedudukan dan fungsinya sangat terkait dengan susksenya pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Kata siddhakarya (siddha = berhasil. karya = aktivitas atau upacara keagamaan). Di sinilah konsep estetika religius Hinduistis dapat dihayati pada tingkat fisik dan metafisik, artinya tidak hanya memberikan makna indrawi, tetapi lebih dari itu memberikan sebuah ritus peralihan (pralines dan sthiti) sehingga secara psikologis merupakan simbol pengosongan dan penciptaan dunia spiritual baru (katarsis), yaitu suksesnya sebuah yadnya (pengabdian spiritual manusia kepada Sang Maha Pencipta).

2.2.5      Fungsi Aksara dan Bahasa di Era Modern/Global
      Menurut Ong 1982 (Dalam Kutha Ratna,2005:149-150) menyebutkan bahwa tulisan memiliki beberapa ciri dalam zaman modern ini, yaitu (a) tulisan merupakan hasil teknologi komputerisasi dalam kebudayaan mutakhir, karena itu, tulisan bersifat kejam, (b) tulisan menghancurkan memori, manusia menjadi pelupa, tulisan memperlemah pikiran, (c) tulisan tidak responsif, sebab manusia hanya berdialog dengan bahasa, dengan wacana, (d) tulisan bersifat pasif sebab dihasilkan melalui dunia yang tidak alamiah.

     Terlepas dari beberapa kelemahan bahasa dan aksara di era modernisasi, namun perlu disadari bahwa dengan komputerisasi bahasa dan aksara akan mampu mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi dewasa ini. Pada sisi lain juga, bahwa aksara dalam komputer dapat dikreasi dalam berbagai kepentingan praktis, narnun iidak menghilangkan hakikat dan makna yang disimbolkan oleh aksara dan bahasa itu sendiri.

     Menurut Sudewa (2005:212) menyebutkan sasaran komputerisasi teks aksara Bali adalah sebagai berikut:
1)    Menyunting teks aksara Bali meng unakan pengolahan kata
2)    Melacak teks aksara Bali
3)    Membuat website dengan aksara Bali, mengirim e-Maill dengan aksara Bali
4)    Melakukan pemrosesan teks lainnya. seperti pencarian teks dan spell checking
5)    Melakukan pengenalan manuskrip aksara Bali dan menyimpan hasilnya dalam tekas komputer
6)    Dan pemrosesan teks lainnya yang biasa kita lakukan dengan aksara latin.

     Indonesia seharusnya belajar ke negara lain seperti Cina, Jepang, Arab dan lain- lain. Pada negara-negara tersebut aksara dan bahasa digunakan di dalam dunia industri, seperti dapat dilihat pada hampir setiap produk industri negara itu dengan mencantumkan aksaranya, baru diterjemahkan dengan bahasa internasional (Inggris). Dengan demikian, aksara dan bahasa mereka akan tetap menjadi indentitas atau jati diri produk industri di zaman globalisasi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mentalitas bangsa kita atau khsusunya Bali untuk mengangkat aksara dan bahasa Bali seperti negara Jepang dan Cina itu. Untuk melakukan itu diperlukan komitmen bersarna pemerintah, masyarakat pencinta bahasa (ahli-ahli bahasa dan aksara), dunia industri. Jika, hal itu dapat dilakukan, maka pengembangan apa yang disebut-sebut sebagai ekonomi kreatif yang bertumpu pada cultural capital dapat menjadi tulang punggung dan kekuatan bangsa ketika sumber­sumber daya alam telah habis dimanfaatkan.


III. Simpulan
      Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa aksara dan bahasa sesungguhnya mampu dijadikan modal yang kuat atau kokoh untuk membentuk identitas budaya atau jati diri bangsa. Namun, pokok soalnya adalah aksara dan bahasa seringkali dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak mampu memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan manusia. Anggapa itu sesungguhnya sangat keliru, karena modal budaya (bahasa dan aksara) adalah sumder daya alam yang tidak akan habis jika mampu diangkat dalam ruang ekonomi kreatif. Semua itu dapat dilakukan mengingat bahasa dan aksara memiliki berbagai fungsi sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian, untuk mempu bahasa dan aksara menuju jati diri, ekonomi kreatif, mengglobal, tanpa menghilangkan makna atau hakikat ketradisian, maka diperlukan komitmen pemerintah, masyarakat, dan dunia industri serta mentalitas masyarakat yang tidak menganggap aksara dan bahasa Bali sebagai bagian dari feodalisme dan kuno, terkebelakang, tradsinal, bahkan minder. Mentalitas budaya seperti itu akat turut memperburuk dan mempercepat kematian bahasa dan aksara Bali itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar